Sabtu, 11 Januari 2014

Sejarah Kerajaan Cirebon

Sejarah Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai ati sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara sasantang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan[2].
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkut sebagai pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak 1553-1565.



Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon
Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi
Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk pada Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampunganMuara Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta[3].

b. Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari, masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
v Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
v Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga denganseorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati[4].

Cirebon Sebagai Bandar Dagang
Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun dari negeri lain. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. 3 wilayah pedalaman diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Ccirebon mengalami kemunduran karena adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.

Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon
Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4 lapisan sosial :
a) Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya. Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.
b) Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan pedagang-pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih[5].
c) Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani, psdagang, tukang, nelayan, dan golongan masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
d) Golongan Budak[6]. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.

Runtuhnya Kerajaan Cirebon

§ Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
§ Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi permusuhan.


Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan golongan Budak. Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.


0 komentar:

Posting Komentar